PERLINDUNGAN
KONSUMEN
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang
diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga
sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.
Untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkankembangkan sikap perilaku
usaha yang bertanggung jawab.
Maka dibentuklah UU No. 18 Tahun 1999 yang adalah ketentuan
hukum untuk melindungi konsumen dari kecurangan-kecurangan pelaku usaha. Hal
ini ditujukan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen
dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat.
Dewasa ini telah banyak terjadi kecurangan hampir disetiap
lini bidang kehidupan terutama dalam bidang perekonomian. Terlebih lagi,
kecurangan merebak mulai pasar
tradisional hingga ketingkat supermarket. Ironisnya, para pejabat yang
berwenang tidak efektif dalam melakukan pemeriksaan terhadap para pelaku usaha
yang tidak sehat.
Walaupun kebanyakan alasan yang digunakan adalah factor
bahan yang mahal atau karena sepinya pemebeli, sekalipun begitu hal tersebut
tetap tidak dibenarkan karena hal tersebut tetap merugikan konsumen ditinjau
dari sudut pandang manapun.
Di
Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang
konsumen dapat
mengajukan perlindungan adalah:
·
Undang Undang Dasar
1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan
Pasal 33.
·
Undang Undang No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
·
Undang Undang No. 5
tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak
Sehat.
·
Undang Undang No. 30
Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
·
Peraturan Pemerintah
No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan
Konsumen
·
Surat Edaran Dirjen
Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan
konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
·
Surat Edaran Direktur
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman
Pelayanan Pengaduan Konsumen
B. TUJUAN
PENULISAN
Pembaca dapat memahami
dan dan dapat menjelaskan Hak dan Kewajiban dari konsumen dan pelaku usaha,
serta perbuatan apa saja yang dilarang oleh pelaku usaha terhadap konsumennya
C.
RUMUSAN MASALAH
A.
Pengertian Konsumen
B.
Azas dan Tujuan
C.
Hak dan Kewajiban
Konsumen
D.
Hak dan Kewajiban
Pelaku Usaha
E.
Perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha
F.
Klausula Baku dalam
Perjanjian
G.
Tanggung Jawab Pelaku
H.
Sanksi
I.
PEMBAHASAN
- PENGERTIAN KONSUMEN
Konsumen yaitu beberapa orang yang
menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan barang untuk mereka gunakan
atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya.
Pembangunan dan perkembangan
perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan
nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat
dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdaganan bebas yang didukung oleh
kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas ruang gerak
arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara,
sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik produksi luar
negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak
mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau
jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan
untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan
keinginan dan kemampuan konsumen.
- AZAS
DAN TUJUAN
Asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2
UU PK adalah:
1. Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan
pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding
pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2. Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang
mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan
melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan
menunaikan kewajibannya secara seimbang.
3. Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan
kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara
seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku
usaha menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sedangkan Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan
perlindungan konsumen adalah:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa
yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
- HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
Hak konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban.
Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak
sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya
tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal
itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan
hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari
bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan
UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
- Hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
- Hak untuk memilih dan mendapatkan
barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan .
- Hak atas informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
- Hak untuk didengar pendapat
keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
- Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
- Hak untuk mendapatkan pembinaan dan
pendidikan konsumen.
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
- Hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal
4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur
tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam
hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak
yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif
persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan
bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang
dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang
ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian
jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya
hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala
sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi
konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.
Kewajiban konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
- Membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa,
demi keamanan dan keselamatan;
- Beritikad baik dalam melakukan
transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
- Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
- Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
- HAK
DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti halnya
konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
- hak untuk menerima pembayaran yang
sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
- hak untuk mendapat perlindungan hukum
dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
- hak untuk melakukan pembelaan diri
sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
- hak untuk rehabilitasi nama baik
apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan
oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1. beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya;
2. memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. memperlakukan atau melayani
konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. menjamin mutu barang dan/atau
jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. memberi kesempatan kepada
konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta
memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
6. memberi kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7. memberi kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha
bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi
konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula
dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku
usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus
mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar
pelaku usaha.
- PERBUATAN
YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK.
Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
- larangan bagi pelaku usaha dalam
kegiatan produksi (Pasal 8 )
- larangan bagi pelaku usaha dalam
kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
- larangan bagi pelaku usaha periklanan
(Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1)
UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang:
1. tidak memenuhi atau tidak
sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2. tidak sesuai dengan berat
bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang
dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. tidak sesuai dengan ukuran,
takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4. tidak sesuai dengan kondisi,
jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label,
etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5. tidak sesuai dengan mutu,
tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
6. tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang
dan/atau jasa tersebut;
7. tidak mencantumkan tanggal
kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas
barang tertentu;
8. tidak mengikuti ketentuan
berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam
label;
9. tidak memasang label atau
membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih
atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama
dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut
ketentuan harus di pasang/dibuat;
10. tidak mencantumkan informasi
dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha
di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang
diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku,
pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji
yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus
dipenuhi.
Selain itu, ayat
(2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
(3) Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar.
UU PK
tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan
tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah
tersebut diartikan sebagai berikut:
- Rusak: sudah tidak sempurna (baik,
utuh) lagi.
- Cacat: kekurangan yang menyebabkan
nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
- Bekas: sudah pernah dipakai.
- Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak
baik lagi)
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut
saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat
berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang.
Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada
sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya
berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan
terakhir dari pasal ini adalah:
(4) Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
- KLAUSULA
BAKU DALAM
PERJANJIAN
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan
sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen
lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.
Klausula baku
dilarang menurut undang-undang
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung
unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :
1.
Pengalihan
tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
2.
Pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3.
Pelaku usaha berhak
menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
4.
Pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
secara angsuran;
5.
Mengatur perihal
pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli
konsumen;
6.
Memberi hak kepada
pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7.
Tunduknya konsumen
kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau
pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8.
Konsumen memberi kuasa
kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
Contoh klasula baku yang dilarang undang-undang
- Formulir pembayaran tagihan bank
dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau disetujui oleh nasabahnya
menyatakan bahwa
- “ Bank tidak bertanggung jawab atas
kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran dari Bank sendiri atau
pegawainya atau koresponden, sub agen lainnya, atau pegawai mereka ;
- Kuitansi atau / faktur pembelian
barang, yang menyatakan :
- "Barang yang sudah dibeli tidak
dapat ditukar atau dikembalikan" ;
- "Barang tidak diambil dalam
waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan" ;
Contoh klasula baku yang batal demi hukum
- Setiap transaksi jual beli barang
dan atau jasa yang mencantumkan Klausula Baku yang tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku;
- Konsumen dapat menggugat pelaku
usaha yang mencantumkan Klausula Baku yang dilarang dan pelaku usaha
tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana denda atau pidana penjara;
- Pencantuman Klusula Baku yang benar
adalah yang tidak mengandung 8 unsur atau pernyataan yang dilarang dalam
Undang-Undang, bentuk dan pencantumannya mudah terlihat dan dipahami;
- TANGGUNG
JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk
yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan
kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa
dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata
lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan
pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha
terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti
kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab
pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian,
sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure
kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari
tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
- barang tersebut terbukti seharusnya
tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
- cacat barang timbul pada kemudian hari;
- cacat timul akibat ditaatinya
ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
- kelalaian yang diakibatkan oleh
konsumen ;
- lewatnya jangka waktu penuntutan 4
tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
- SANKSI
Masyarakat boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat
kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat perlindungan dalam
undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku usaha yang tidak
mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku
usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan
milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan
barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan,
keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam
label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha
yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan
barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang
mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18
ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan
mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang
sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan
yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha
periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko
pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering
dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang
sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak
pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam
setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya
sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli
tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut
selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lima) tahun penjara, pencantuman
klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat
(3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam
kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau
dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan
klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya.
Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar
adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah,
padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal
tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun
1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun
penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu
atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar
terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU
Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah
perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau
lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59
ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap
dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian( Oktober 2004 )
Sanksi Perdata ganti
rugi dalam bentuk :
- Pengembalian uang atau
- Penggantian barang atau
- Perawatan kesehatan, dan/atau
- Pemberian santunan
- Ganti rugi diberikan dalam tenggang
waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi
Administrasi :
maksimal Rp.
200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat
(2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana kurungan :
- Penjara, 5 tahun, atau denda Rp.
2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17
ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
- Penjara, 2 tahun, atau denda
Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16
dan 17 ayat (1) huruf d dan f
- Ketentuan pidana lain (di luar
Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika
konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
- Hukuman tambahan , antara lain :
- Pengumuman keputusan Hakim
- Pencabuttan izin usaha;
- Dilarang memperdagangkan barang dan
jasa ;
- Wajib menarik dari peredaran barang
dan jasa;
- Hasil Pengawasan disebarluaskan
kepada masyarakat .
II.
PENUTUP
Konsumen ialah orang yang memakai
barang atau jasa guna untuk memenuhi keperluan dan kebutuhannya. Dalam ilmu
ekonomi dapat dikelompokkan pada golongan besar suatu rumah tangga yaitu
golongan Rumah Tangga Konsumsi (RTK), dan golongan Rumah Tangga Produksi
(RTP).
Perlindungan konsumen adalah
perangkat yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak sebagai contoh
para penjual diwajibkan menunjukka tanda harga sebagai tanda pemberitahuan
kepada konsumen. Dengan kata lain, segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Oleh karena itu, Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki
sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen
sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan
mandiri. Tujuannya, jika adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia
secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih
jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal
diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen
diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan atau jasa;
hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
DAFTAR
PUSTAKA